Menilik Kebudayaan Megalitikum di Huta Siallagan
Menilik Kebudayaan Megalitikum di Huta Siallagan

Menilik Kebudayaan Megalitikum di Huta Siallagan

Sempat berhenti sejenak, untuk mengambil foto dengan pemandangan 😉

2017 | Aloha tahun yang baru, tahun 2021. Wah, sungguh tidak terasa! Ternyata, sudah hampir setahun aku berpaling dari blog untuk bercerita kepada kalian semua. Yap, pandemi sedikit membuatku susah mengatur waktu antara kerja, tidur dan menonton drama korea 🙃 But, here i am! Aku akan mecoba untuk menyelesaikan cerita berkelana ini dengan perlahan tapi pasti. Melanjutkan cerita “Merebahkan badan di Le Shangri-La” kami bertiga menyempatkan untuk berkunjung ke Huta Siallagan. Eits, tidak ketinggalan kami pun mengambil kenangan berfoto di tengah hamparan hijau Pulau Samosir, sungguh indah! Objek wisata ini merupakan salah satu perkampungan yang berada di Kabupaten Simanindo, Pulau Samosir. Huta dalam Bahasa Batak memiliki arti “kampung.” Kami pun masuk menuju perkampungan dan berkeliling. Ada rasa kagum dengan perkampungan yang terjaga dan rapih!

Mengutip dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh (2019) bahwa Huta Siallagan dikenal dengan kompleks situs rumah adat dan kursi batu; terdapat tiga rumah yaitu Rumah Bolon, Rumah Siamporik, dan Rumah Sibola Tali. Rumah Bolon dihuni oleh raja dengan anaknya, memiliki bentuk yang lebih besar, dan tangga berasal dari dalam. Rumah Siamporik bentuknya lebih kecil, memiliki tangga yang berasal dari luar, dan penghuninya adalah keluarga yang diundang untuk tinggal di perkampungan tersebut (misalnya: boru, bere, dan Marga Siallagan yang bukan keturunan raja). Rumah Sibola Tali memiliki bentuk yang lebih kecil dan ramping, para penghuninya adalah kerabat raja (anak laki-laki), dan yang membedakan dengan Rumah Bolon adalah anak sulung laki-laki yang berhak tinggal dan memilikinya. Terdapat Pohon Hariara [pohon ini dianggap suci dan melindungi penduduk setempat] di halaman perkampungan sebagai tempat pemujaan, yang dikenal dalam Bahasa Batak sebagai Parulubalangan atau tempat meletakkan sesajen. Selain itu, terdapat pula kursi batu atau batu persidangan dan batu parhapuran, perkampungan ini dikeliling tembok batu setinggi 1,5 meter. Dahulu kala, batu persidangan ini menjadi tempat Raja Siallagan untuk mengadili para penjahat dan tepat disampingnya terdapat pohon kebenaran; karena semua keputusan pengadilan yang raja ambil disampaikan atau disumpahkan pada pohon tersebut (Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh 2019).


Gurky (2020) melakukan wawancara kepada Bapak Ir. GJ Siallagan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Legenda Huta Siallagan (terkhusus mengenai batu persidangan), yang tertera [aku sedikit melakukan penyuntingan] sebagai berikut:

Batu persidangan yang dikenal juga sebagai kursi batu adalah sebuah legenda yang terdapat di Huta Siallagan. Batu persidangan merupakan sebuah kursi yang terbuat dari pahatan batu mengelilingi sebuah meja yang terbuat dari batu pula. Dahulu kala, batu persidangan ini berguna untuk merapatkan segala sesuatu yang terjadi di Huta Siallagan dan mengadili para pelaku kejahatan atau pelanggar hukum adat. Tujuh ratus tahun yang lalu, Huta Siallagan memiliki seorang raja yang adil dan bijaksana. Raja Siallagan tersebut merupakan raja pertama yang memimpin perkampungan ini. Raja tersebut begitu terkenal dengan adil kepada rakyatnya yaitu membuat aturan hukum atau sanksi bagi orang-orang yang melanggar. Hukuman yang diberikan sesuai dengan kesalahan yang dilakukan (tidak memandang apakah itu istri raja, keluarga raja, atapun rakyat biasa). Raja juga dikenal dengan keramahannya, Ia tersenyum dan menyapa kembali saat rakyatnya menyapa. Selain untuk persidangan, batu persidangan menjadi tempat wajib merapatkan segala sesuatu yang akan terjadi di perkampungan (misalnya: merapatkan pesta adat, penguburan orang mati, pesta perkawinan, dan lain-lainya).

 

Suatu hari, panglima kerajaan melakukan kesalahan dengan mengkhianati kerajaan, dan raja memutuskan untuk melakukan rapat di batu persidangan; dipimpin oleh raja, diikuti oleh penasehat, istri raja, dukun, algojo, dan terdakwa, serta disaksikan oleh seluruh rakyat. Adapun, kesalahan panglima termasuk dalam tindak pidana berat yang mengakibatkan hukuman berupa pemancungan. Untuk melakukan pemancungan, raja menyerahkan kepada dukun dalam menentukan hari baik (manitiari), dukun akan bersemedi di bawah pohon sampai menemukan hari baik tersebut. Setelah mendapati hari baik, pemancungan dilakukan pada batu eksekusi. Pemancungan hanya boleh dilakukan sekali saja, jika algojo tidak berhasil maka algojo akan menggantikan terdakwa. Ritual dimulai dengan alunan musik klasik yang berasal dari gondang batak, dan sebelum dilakukan pemancungan–dukun akan menutup mata terdakwa serta memberikan ramuan-ramuan, membacakan mantra-mantra supaya kekuatan (ilmu kebal) yang terdakwa miliki menjadi hilang. Ketika hal ini berlangsung, algojo mulai memukuli badan terdakwa dengan menggunakan tongkat tunggal panaluan hingga terdakwa menjerit-jerit, jeritan ini menandakan bahwa kekuatan (ilmu kebal) terdakwa sudah hilang. Maka selanjutnya yang dilakukan adalah pemancungan, terdakwa ditelungkupkan dengan posisi leher di atas batu. Jika pemancungan berhasil maka raja akan bertanya kepada seluruh yang menyaksikan; “Siapa yang ingin memakannya?” Raja akan memakan hati dan jantung, karena dipercaya menambah kekuatan raja. Kemudian, kepala terdakwa akan digantung di atas pintu masuk Huta Siallagan sebagai peringatan kepada semua masyakarat perkampungan supaya tidak melakukan kesalahan yang sama.

 

Tindak pidana ringan dengan kesalahan seperti mencuri atau berbohong hanya akan dijadikan budak raja dan tindak pidana sedang seperti membunuh, perkelahian antar kampung serta pemerkosaan akan diserahkan kepada penasehat (misalnya: yang melakukan kesalahan dan memiliki tanah biasanya berdamai dengan cara menyerahkan tanah tersebut kepada kerajaan). Raja memiliki harapan dengan keadilan dan sikap bijaksana yang Ia terapkan akan membuat Kerajaan Siallagan semakin maju dan disegani oleh kerajaan-kerajaan lain. Masyarakat Huta Siallagan bertahan hidup dengan cara bertani, menanam padi, kopi, alpukat, dan sayur-sayuran di ladang milik Raja Siallagan. Siapapun boleh bertani di tanah raja dengan syarat membagi hasil yaitu 30% hasilnya kepada kerajaan.

Sebenarnya cerita tersebut kami dengar juga saat pemandu wisata menjelaskan; tetapi, empat tahun berlalu, akupun sedikit lupa–daripada terdapat kesalahan dalam bercerita, aku mengutipnya. Setelah selesai berkeliling, kami pun melihat patung sigale-sigale yang melakukan atraksi saat diberi sejumlah uang. Selain itu, di perkampungan ini terdapat toko untuk membeli oleh-oleh; berupa kerajinan kayu (misalnya patung kayu, jam dinding, gantungan kunci, dan masih banyak lagi). Kami pun sempat berkunjung dan banyak bercerita kepada pemilik toko tersebut, tentunya seseorang yang masih bermarga Siallagan pula 😏 Selesainya kami di Huta Siallagan, menandakan selesainya perjalanan di Pulau Samosir. Sungguh menyenangkan, tidak sabar aku untuk kembali ke pulau ini di kemudian hari!


Referensi

Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh (2019) Kompleks situs rumah adat dan kursi batu parhapuran Huta Siallagan Kab. Samosir. [Diakses 13 Februari 2021]. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/kompleks-situs-rumah-adat-dan-kursi-batu-parhapuran-huta-siallagan-kab-samosir/.

Gurky, BSUS (2020) Analisis struktur dan kearifan lokal legenda batu persidangan Huta Siallaggan Pindaraya Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir. Skripsi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!