
2017 | Menuliskan cerita-cerita perjalanan ini membuatku takjub sendiri, semakin bersyukur karena masa muda versi diriku berhasil mengeksplorasi beberapa tempat. Mari kita melanjutkan cerita ini, karena hari itu akan segera berakhir. Waktu terus berlalu, matahari segera tenggelam dan beruntungnya kami tiba di tujuan akhir; Danau Sidihoni. Keunggulan di Sumatera Utara adalah matahari akan tenggelam sekitar pukul setengah tujuh. Jadi, kami tidak takut akan kehabisan waktu. Diantara kalian ada yang sudah pernah ke Danau Sidihoni? Tentu, ini menjadi kali pertamaku mengunjungi dan tanpa observasi. Kami penasaran dengan sebutan “Danau di atas Danau.” Sejenak, aku hampir melupakan fakta bahwa Pulau Samosir berada di Danau Toba, bukan di lautan lepas; sehingga slogan tersebut begitu mengingatkan ada hal yang berbeda dengan Sidihoni; yaitu danau di atas danau.
Danau Sidihoni berada di Kecamatan Ronggurnihuta, dan menuju kemari membutuhkan perjuangan. Jalanan menuju kesana tidaklah semulus jalan utama Pulau Samosir–berlubang dan berbatu telah kami lewati. Dalam hati kami masing-masing terucap doa, supaya aman tiba dengan selamat tanpa ada drama ban bocor 😂 Danau Sidihoni terdapat pada ketinggian kurang lebih 1.295 mdpl dan memiliki luas yang diperkirakan enam hingga tujuh hektar. Sesampainya di Danau Sidihoni, kami dihadapkan dengan hamparan rumput hijau yang membentang, kerbau-kerbau berkeliaran, dan adanya aktivitas warga yang memanfaatkan air danau. Kami memutuskan beristirahat sejenak, mengumpulkan tenaga untuk perjalanan kembali pulang ke penginapan.
Dalam Bahasa Batak Toba menyebut danau dengan tao. Hingga, warga setempat menyebutnya dengan Tao Sidihoni. Ambarita & Hadi (2019) dalam tulisannya mengenai toponimi menjelaskan bahwa Danau Sidihoni merupakan sebuah danau yang dipercaya dapat mengabulkan permohonan, berasal dari kata Sidiakoni yang memiliki arti sebuah harapan bagi seluruh orang yang meminta ataupun berdoa di danau ini akan memperoleh yang diinginkan. Terdapat cerita-cerita folklor yang menyertai Danau Sidihoni; saat kami sedang duduk bersantai–Kak Nia berujar, “Dek, tahu nggak cerita tentang danau ini?” aku menjawab dengan menggelengkan kepala, maksud hati tidak tahu. Si kakak menambahkan, “Katanya, danau ini dapat meramal kejadian buruk yang akan datang. Bahkan pernah danau ini berwarna merah darah.” Seketika, bulu kuduk ku berdiri, percaya nggak percaya. Simalango (2018) menuliskan dalam skripsinya tentang cerita legenda Danau Sidihoni. Teks ini ditulis dalam Bahasa Batak Toba, dan disertakan juga terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Berikut folklor Danau Sidihoni:
Dahulu kala, di Desa Hutabange hiduplah sepasang suami istri, yang bernama Ompung Sawangin Simalango dan istrinya Boru Malau (pase). Desa tersebut adalah hutan rawa dan belum berpenghuni. Mereka hidup rukun hingga mempunyai enam anak, empat laki-laki dan dua perempuan. Adapun nama anak-anak tersebut yang sekarang dikenal ialah: Op. Mandalahat, Op. Haulian, Op. Saudungan, Op. Hutapir, Op. Tinambam Boru, dan Op. Naibaho Siahaan. Karena dahulu kebutuhan pangan masih sulit untuk didapatkan, mereka hanya mengharapkan ubi yang mereka tanam untuk bertahan hidup. Di Desa Hutabange terdapat tanah yang bisa dimakan, namanya tanah bange. Terkadang, jika sudah tidak ada ubi yang bisa dimakan, mereka memakan tanah bange tersebut.
Begitu-begitu sajalah kehidupan keluarga Ompung Sawangin Simalango hingga anak-anaknya beranjak dewasa. Suatu hari, pergilah Ompung Sawangin Simalango ke hutan belantara yang belum pernah ia datangi dan menemukan genangan air yang kecil ditengah-tengahnya. Awalnya, ia hanya berfikiran itu hanya genangan air kecil saja dan tidak akan bisa menjadi luas. Beberapa hari kemudian datanglah puting beliung dan hujan deras di malam hari yang membuat hutan belantara tersebut tumbang. Setelah kejadian tersebut, Ompung Sawangin Simalango berdoa kepada Debata Mulajadi Nabolon memohon agar tidak terjadi lagi puting beliung yang membuat semua hutan di Desa Hutabange tumbang.
Beberapa hari setelah Ompung Sawangin Simalango berdoa, ia kembali lagi ke tempat hutan belantara yang tumbang. Ia menemukan genangan air yang awalnya kecil kini sudah bertambah luas dan saat melihat genangan air ia masih menganggap itu hal biasa, kemudian ia kembali pulang. Setelah sampai di rumah, ia menemukan anaknya Op. Haulian duduk di beranda menunggu kedatangannya. “Kenapa kau di depan rumah?” kata Ompung Sawangin Simalango. “Ada yang ingin kukatakan, tapi kelihatannya bapak sangat lelah.” jawab Op. Haulian. “Iya anakku, nanti malam saja kita bicarakan yang mau kau omongkan ya.”
Karena sudah tiba malam hari, berkumpullah mereka sekeluarga untuk berbincang-bincang. “Jadi apa yang mau kau omongkan tadi?” tanya Ompung Sawangin Simalango untuk membuka percakapan. “Begini pak, ada rencanaku untuk merantau ke desa lain,” jawab Op. Haulian. “Merantau kemana rencanamu?” tanya Ompung Sawangin Simalango lagi. “Ke daerah Simalungun, pak,” jawab Op. Haulian. “Coba tanya dulu kepada ibu, abang dan adik-adikmu, apa mereka setuju atau tidak kau pergi merantau,” jawab halus Ompung Sawangin Simalango. “Bagaimana bu, abang, dan adik-adikku? Apa kalian setuju jika aku merantau?” tanya Op. Haulian kepada ibu dan saudaranya. “Jika harus merantau menurutmu yang terbaik untukmu, ya sudah pergilah merantau,” jawab ibunya. Hati Op. Haulian pun senang ketika mendengar jawaban ibunya. “Kalian bang dan adikku?” tanyanya memastikan jawaban dari saudaranya. “Ya sudah kalau itu keputusanmu,” kata saudaranya. Semakin senang lah Op. Haulian mendengar jawaban dari saudaranya.
“Karena ibu, abang dan adik-adikmu telah menyetujui untuk kau merantau, ya sudah kau boleh merantau,” jawab Ompung Sawangin Simalango memutuskan. “Terimakasih pak, bu, abang dan adik-adik,” jawab Op. Haulian dengan bahagia. Esoknya tibalah hari yang ditunggu Op. Haulian untuk merantau. Berpamitanlah dia dengan keluarganya dan pergi menuju Desa Simalungun. Ompung Sawangin Simalango dan keluarganya kembali lagi menjalani rutinitasnya setelah ditinggal merantau oleh anak dan saudaranya. Ketika ia dan anaknya ingin berladang, datanglah hujan deras sehingga mereka tidak bisa keluar rumah. Keesokannya juga begitu, sehingga mereka tak berladang untuk beberapa hari.
Pada suatu hari, cerahlah langit dan mereka pergi berladang. Ompung Sawangin Simalango pergi ke hutan belantara tersebut dan sangat terkejut ketika melihat genangan air itu semakin luas. Hingga akhirnya Ompung Sawangin Simalango mempercayai ada yang aneh dari genangan air tersebut. Keesokan harinya, Ompung Sawangin Simalango kembali lagi ke tempat genangan air itu dan membawa berupa sesajen seperti jeruk purut, daun sirih, itak putih (makanan ringan khas Batak), dan hitang niandalu. Sambil meletakkan sesajen tersebut, ia berdoa kepada Debata Mulajadi Nabolon supaya ia dan keluarganya terutama anaknya yang pergi merantau diberikan kesehatan dan rejeki yang cukup.
Setelah kejadian tersebut, Ompung Sawangin Simalango mempunyai banyak rejeki dan mendapat kesaktian yang ia percayai diterimanya dari Debata Mulajadi Nabolon. Seiring berjalannya waktu, genangan air itu semakin luas, hingga suatu ketika ia memberikan nama genangan air yang sudah luas itu menjadi Danau Sidiakoni; yang artinya ialah mangelek atau dalam Bahasa Indonesia “membujuk.” Karena Ompung Sawangin Simalango sering berkunjung ke Danau Sidiakoni, sesekali dia mencoba memancing di danau itu. Dan tanpa disadari, ia sering mendapat ikan dari hasil pancingannya. Adapun ikan yang ia dapat berbeda-beda, terkadang ia mendapat ikan gabus, ikan jair, ikan pora-pora, dan ikan lele, ia sangat bahagia dengan hasil pancingannya. Semenjak itu pula ia mengajak keluarganya untuk memberikan sesajen di pinggiran danau itu. Ia beserta keluarganya semakin sering memberikan sesajen disitu, karena ia menganggap rejeki yang ia dapati selama ini dari Sang Pencipta.
Hingga akhirnya Ompung Sawangin Simalango membuat janji supaya Danau Sidiakoni tidak boleh dinodai kesakralannya oleh keturunannya ataupun penduduk yang akan bertempat tinggal disitu nantinya. Adapun salah satu janji yang diucapkan Ompung Sawangin Simalango ialah: 1) Tidak boleh memperjualbelikan air Danau Sidiakoni; 2) Yang boleh memancing di danau tersebut hanya orang yang kurang mampu saja. Dan karena janji Ompung Sawangin Simalango itulah sampai sekarang Danau Sidiakoni masih dijaga kesakralannya.
Simalango (2018) menjelaskan bahwa cerita folklor diatas berlanjut ketika untuk pertama kalinya Danau Sidiakoni berubah menjadi sangat kering, hal itu memiliki arti pertanda buruk bagi keturunan Ompung Sawangin Simalango ataupun bagi negaranya. Pada tahun 1943 saat Belanda berada di Indonesia, Belanda mengganti nama Danau Sidiakoni menjadi Danau Sidihoni. Nama itu diganti supaya lebih gampang diucap dan diingat. Pada tahun 1945, setelah Jepang menyerah dan meninggalkan Indonesia keturunan Ompung Sawangin Simalango memberi sesajen seperti yang pernah dilakukan Ompung Sawangin Simalango. Lalu, beberapa hari setelah itu, air Danau Sidihoni kembali naik lagi. Pada tahun 1959, air Danau Sidihoni tidak kering melainkan berubah warna menjadi warna merah, hal itu memberikan tanda-tanda kepada keturunan Ompung Sawangin Simalango bahwa akan ada kejadian buruk yang akan datang. Kejadian tersebut ialah kedatangan organisasi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Indonesia. Hal yang sama terjadi lagi pada tahun 1987 dan 1989 ketika perubahan Orde Baru ke Reformasi; yaitu pada saat Soeharto turun dari jabatannya sebagai Presiden RI. Pada tahun 2005, saat gempa di Pulau Nias terjadi, keturunan Ompung Sawangin Simalango melakukan ritual untuk Danau Sidihoni agar kembali luasnya seperti semula. Adapun sesajen yang mereka berikan ialah kambing putih beserta gondang sabangunan (Iringan musik khas Batak). Biasanya mereka melakukan dari sipitu mata lalu berjalan menuju Danau Sidihoni dengan iringan gondang. Dari tahun ke tahun semakin banyak keturunan Ompung Sawangin Simalango yang tinggal di Hutabange. Mereka juga menggunakan air Danau Sidihoni untuk keperluan sehari-hari mereka.
Bagaimana? Kalian sudah merasakan ngeri-ngeri sedap sepertiku? Tetapi, tak mengapa! Alam ini perlu kita jaga bersama. Setidaknya kita tetap menghargai para nenek moyang yang sudah menjaga Danau Sidihoni sedemikian rupa. Kami tidak memiliki banyak foto disini, hari sudah gelap dan baterai telepon selular dan kamera sudah mulai berkedip menandakan akan segera habis. Cerita lucunya adalah saat Yuni dan Kak Nia bersantai di padang rumput hijau membentang, aku dengan percaya diri melangkahkan kaki menuju danau untuk mencuci muka. Tetapi, nasib sial aku alami; selesai mencuci muka, aku menginjak tanah basah sehingga lumpur memenuhi kaki dan celana ku hingga betis. Aku masih ingat, mereka menertawakanku dari kejauhan sambil berteriak “Cuci lagi sana!” sambil menatap sendu ke arah mereka, aku menjawab dengan lirih “Iyaa………” Oiya, jika kalian memiliki cerita tentang Danau Sidihoni; jangan ragu tuk membagikan di kolom komentar bawah ini!
Referensi
Ambarita, J & Hadi, W (2019) Toponimi Kedanauan di Pulau Samosir. Jurnal SASINDO 8 (2).
Simalango, B (2018) Legenda Danau Sidihoni pada Masyarakat Batak Toba: Kajian Sosiosastra. Skripsi, Universitas Sumatera Utara. http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/4021.