The End of My Quarter Life Crisis
The End of My Quarter Life Crisis

The End of My Quarter Life Crisis

Rasa-rasanya ini waktu yang tepat untuk mengakhiri rasa gundah gulana, carut marut, resah gelisah, dan kacau balau kehidupan. Lebih tepatnya, mengusahakan diri untuk menjadi lebih dewasa. Semoga kalian tidak merasa bosan dalam mengikuti perjalanan “life crisis” yang seharusnya sudah tidak “quarter” lagi. Malam kemarin, seseorang mengirimiku sebuah foto di platform percakapan; seseorang yang hampir tidak pernah bercakap denganku. Aku menjadi penasaran saat membaca namanya di layar telepon selulerku, kemudian dengan segera aku mengetuk untuk melihat. Aku terkejut. Terdiam sejenak, sambil terus membaca pesan yang berbunyi “Dek, mereka pacaran? Siapa namanya? Aku lupa.” Belum sempat ku balas, aku meneruskan foto tersebut pada sahabatku, dengan diikuti pesan “ASTAGA!!!!” Kemudian, aku menjawab dengan menuliskan nama lengkap lelaki tersebut. Obrolan kami menjadi panjang, banyak hal terbahas hingga di sebuah akhir percakapan aku menjawab, “We are friends, but it does not mean we share everything.”

Aku merasa tidak tenang, hingga sahabatku membalas, “Lah, lho, lha. WKWKWKWK.” Mengesalkan sekali membaca responnya. Ini terkesan bodoh–tetap saja kubalas, “Kok nyeri ya hati.” Dalam hitungan detik, aku menjadi orang ter-pandir sejagat raya. Ada aja ya. Yagitu, hidup itu. Naik-turun nggak pernah ada pemberitahuannya–kadang lupa bahwa harus bersiap untuk hal-hal yang akan menggores hati. Terjadi untuk mengingatkan jika hidup memang tidak pernah tetap; karena akan selalu berubah-ubah. Merasakan keberuntungan atau justru menanggung kerugian, mengusahakan kebahagiaan atau mungkin menghadapi kesedihan, menemui gelak tawa atau malah melawan isak tangis; semacam itu–kehidupan. Manis kata kali ini bukan datang dariku; hingga saat ini aku masih terheran-heran–memikirkan perihal itu. Malam itu, sahabatku begitu manis berceloteh–entah itu benar atau tidak, yang aku tahu datangnya pasti dari hati. Begini katanya,

Kamu pasti dapat yang terbaik, dan hingga saat itu jangan lupa untuk terus melayakkan diri. Memang tidak terasa kita semua semakin berumur, dan pada akhirnya penerimaan diri dan ikhlas adalah pelajaran paling berharga di masa pendewasaan sekarang. Semakin dikejar semakin tidak dapat, tetapi kalau kita ikhlas, justru akan diberi lebih banyak. Tuhan itu baik. Ingatlah akan hal itu.
–(r.m.n)

Manis ya? Aku saja membacanya hingga terperangah. Untuk kamu, yang masih terjebak dalam kehidupan “life crisis,” jangan menyerah, dan percayalah ketidakstabilan ini adalah salah satu dalam mendewasakan diri. Jangan memaksakan untuk berlari–cukup berjalan menuju ke arah yang tepat. Aku pun begitu, setelah sempat berjalan di jalan bebatuan, jalan yang tergenang air, jalan yang penuh tumbuhan liar–aku kembali ke jalan yang gangsur.

Merasa tidak baik itu tidak apa-apa.
Selama kamu menemukan waktu yang tepat untuk kembali merasa baik.


Photo by Kristina Tripkovic on Unsplash

4 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!