Di tengah hiruk pikuk orang berlalu-lalang, mengangkat tas ransel hingga terlihat peluh sebesar beras di pelipis, menarik koper tiada lelah hingga berlari seperti dikejar anjing–khawatir akan tertinggal pesawat. Ibu jari ini tidak berhenti mengetik untuk berkirim pesan—mengabari yang jauh, memberitahu bahwa akan bersua; segera.
Ruang tunggu selalu berhasil memberikan banyak ide untuk mencurahkan sesuatu; ditempat ini saja aku bisa meletakkan kekhawatiranku tentang betapa nyatanya hidup dan terus saja memikirkan perandaian yang selalu kuimpikan. Aku bersenandung menyanyikan lagu yang menyiratkan sebuah tanya; “Kapan kau jadi milikku?” Lagu yang berjudul “Tanyaku” oleh Sheila on 7 ini tak banyak diketahui khalayak. Sengaja ku memutar secara berulang; ibarat kaset pasti pitanya akan cepat kusut. Hampir sudah berminggu-minggu lagu ini bergema; melalui pelantang telinga milikmu– yang sengaja kusimpan dan selalu kubawa kemanapun aku melangkahkan kaki.
Aku suka lagu ini. Saat aku mendengarkannya, dalam benakku selalu dirimu. Seakan, lagu ini berbicara mengenai diriku yang tidak pernah melepas bayangmu dalam hidupku. “Tak pernah ku merasa hawa sehangat ini, di dalam hidupku.” kalimat pembuka yang mengawali lagu; benar menggambarkan kehadiranmu yang begitu hangat—sehangat teh di sepertiga malam, katamu. “Seolah tak tahu, hanya engkau yang ku tuju. Akan ku nantikan hatimu mengiyakanku. Ku mau kau tahu tiap tetes tatapmu—iringi tanyaku kapan kau jadi milikku?” jeritku dalam hati, menyanyikan lagu ini. Terima kasih kamu, yang sudah mampu membuatku bahagia dengan caramu. Aku masih menunggumu hingga apa yang kau kerjakan terselesaikan. Semoga saja, aku tetap bisa menemukan jawaban atas tanya ini melalui dirimu.
Malam pilu, menyambut rintik hujan yang malu-malu. Terdengar bising suara mesin kapal terbang, yang siap mengantar tiap-tiap kami ke peraduan–dan kembali pulang dalam pelukan hangat orang tersayang.​
Raden Inten II // Lampung Selatan // Oktober 2018