Bagaimana aku dapat menahan diri
berlama-lama di tanah yang asing ini
bila kau tiba-tiba menjadi semesta kesayangan;
guru yang mengajariku merindu
dengan kekuatan dendam seorang anak kampung
kepada cita-citanya
tak satupun laut gentar kulayari,
bila itu menujumutelah kuceritakan untukmu perahuku
yang kuharap akan selalu kaunantikan
walau ia tak membawa sesuatu yang ajaib;
hanya ikan-ikan yang tak pernah kaubosani
dan sebuah legenda tentang anak nelayan
yang ditimang-timang gelombang
dan yang ditampar-tampar badai,
satu-satunya lelaki yang diselamatkan
oleh pelukanmu[WJ // Ambon, 18 Maret, 11.42]

2016 | Puisi berjudul Romean diatas aku temui dalam Buku “Tempat Paling Liar di Muka Bumi” karya indah dari kedua insan Theoresia Rumthe dan Weslly Johannes. Kecintaanku pada puisi memang tidak bisa dihentikan oleh aktivitas apapun. Selalu ada bagiku untuk menyempatkan membaca dan mendalami beberapa puisi. Tahun lalu, secara tidak sengaja saat membuka eksplore di instagram #tempatpalingliardimukabumi timbul dan tentu saja menarik hatiku. Judul yang bukan sembarang judul, menghinoptis seketika untukku membaca secuil kutipan “begitulah cinta ia menemukan.”
Lalu, hari yang ditunggu-tunggu datang juga, Peluncuran Buku Tempat Paling Liar di Muka Bumi. Kalimat “Sudah dapat ditemui di toko buku di kotamu,” bak menambah semangat. Keesokan harinya, aku membeli buku ini dan menghabiskan malam–larut dalam indahnya kata-kata. Seminggu setelahnya, aku melakukan perjalanan menuju Tanimbar; kepulauan besar yang berada di Maluku Tenggara Barat. Selama dua hari satu malam, ku menghabiskan waktu di Pulau Fordata dan Romean adalah desa dimana ku menginjakkan kaki pertama kali. Lucunya, aku tidak menyadari sama sekali bahwa Romean yang ku kunjungi adalah Romean yang berada di buku. Aku menikmati malam di Desa Sovianin. Hingga aku akhirnya harus kembali ke Saumlaki; birunya laut, putihnya pasir, debur ombak yang terdengar setiap detik, hingga senja yang memanjakan mata–tidak dapat dilupakan. Oh, Fordata, bagaimana aku sanggup melupakan dan meninggalkan keindahanmu?
Hingga, tiba waktunya aku harus kembali ke Surabaya. Ada kejadian tidak terduga di Bandara Mathilda Batlayeri; tempat minum yang kubawa ternyata tidak tertutup dengan rapat sehingga membasahi seluruh tasku. Dengan bergegas, aku mengeluarkan barang-barang yang ada didalamnya–termasuk Buku Tempat Paling Liar di Muka Bumi. Seketika itu, Bu Mario Hidungoran berkata “Eh, buku ini.”
dan ku menjawab “Ada apa Bu?”
“Ini tulisan Weslly, dia orang sini. Aku mengenalnya.”
Dengan terkejut aku menjawab “Oh, ya? Wow, luarbiasa. Eh tapi, tunggu dulu. Berarti puisi Romean itu?” Lalu aku mencari-cari dan membacanya, hingga dua kali dan menunjukkan pada Bu Mario.
“Hahaha, iya itu Desa Romean tempat pertama kali kita turun saat di Fordata.”
Sekarang aku mengerti dari kalimat “Bagaimana aku dapat menahan diri berlama-lama di tanah yang asing ini bila kau tiba-tiba menjadi semesta kesayangan;” karena aku pun merasakan hal yang demikian. Tidak ingin kembali ke hiruk pikuknya kota metropolitan, hanya ingin menetap lebih lama lagi di Fordata. Rasanya menyenangkan, ketika aku bisa merasakan apa yang dirasakan oleh penulis mengenai Romean.
Terimakasih semesta.
Aku kan kembali ke Fordata. Tunggu saja.
Keren Ya.. mudah- mudahan kalo kembali lagi bisa berlama- lama dan bisa saling berbagi 🙂
Hai Rani 🙂
Salam manis kata dari ku. Semoga saja. Tetap menjadi impianku untuk kembali ke Tanah Fordata 🙂
Semoga kamu sehat selalu.