Pekat
Pekat

Pekat

Hari yang seharusnya menjadi spesial, berubah menjadi pekat. Aku membaca sebaris kalimat pada buku yang sedang ku baca; berulang-ulang. Aku yakini, tidak ada satu kalimat pun yang aku mengerti. Sekejap pikiran ku teralihkan, setelah membaca pesan singkat darinya pada layar kaca ponselku yang retak. Aku membaca, tanpa membuka, dan sangat meremukkan hati. Aku mengabaikan ponsel yang sedari tadi berbunyi. Aku tahu, itu dia. Karena pesan yang datang darinya memiliki bunyi yang berbeda. Setelah hampir tiga kali membaca satu halaman berulang-ulang; aku memutuskan untuk berhenti membaca dan meletakkan buku ke dalam tas. Sambil mengumpulkan keberanian untuk membalas pesan darinya; secara tidak sadar aku mengepalkan tanganku–dengan berulang pula. Panjangnya kuku menyakiti telapak tanganku. Anehnya, tidak ku merasakan sakit. Aku malah menikmati. Kutekankan lebih dalam lagi, hingga aku benar bisa merasakan sakit. Se-mati rasa itu? Mungkin.

Akhirnya, aku berhasil meraih kembali ponsel untuk membalas pesannya.

“Yaudah” itu balasanku.

“Jangan marah ya” dia kembali membalas.

“Kenapa kamu selalu menganggap bahwa aku akan marah? Kzl. Aku bukan pemarah,” sialnya aku membalas dengan amarah.

“Tapi ngambek?” dia bertanya, seakan sudah tahu jawabannya.

Aku mencoba mengakhiri percakapan dengan membalas, “You know me better.”


Photo by Artturi Jalli on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!