My Quarter-Life Crisis Still Exist!
My Quarter-Life Crisis Still Exist!

My Quarter-Life Crisis Still Exist!

Tetiba, ada saja hal kecil yang menumpuk hingga lama-lama menjadi bukit. Membicarakan quarter-life crisis memang tidak akan ada habisnya. Saat aku mulai menghitung hari menuju 28, aku begitu percaya bahwa my quarter-life crisis still exist, seakan enggan beranjak untuk pergi. “Bukankah sudah waktunya untuk kamu bertolak?” Aku bertanya-tanya akan kehadirannya yang selalu timbul di sela-sela kesempatan. Aku menyadari bahwa diusia yang sebanyak ini, sudah seharusnya mengetahui mana yang benar dan yang tidak, mengambil peran untuk memilih hal mana yang seharusnya diperjuangkan atau ditinggalkan, menentukan mana yang tetap diingat atau yang sudah waktunya untuk dilupakan, dan masih banyak kegelisahan-kegelisahan lainnya yang membutuhkan keputusan. Aku dituntut untuk dapat mengambil keputusan dengan segera, tetapi tidak tergesa-gesa. Kejadian hari ini membuatku sadar akan ketidakmampuan diri diguncang oleh masalah; yang berbukit-bukit itu. Selalu saja aku datang merengek kepadanya, karena tidak bersiap untuk rasa kecewa. Surprisingly, he always picked up my calls; while knows, I came only to whimper.

Percakapan dimulai dengan keluhan “Tunggu dong, masih baca chatmu ini panjang banget.”

Aku menjawab “Iya, jangan juteklah.”

“Kamu kalo merengek kan gitu, harus diturutin,” dia menambahkan.

“Hehe, nah itu tahu,” aku menjawab dengan sesuka hati.

Hening sejenak, sambil menunggu dia merespon “Hmmm, kok mikirnya gitu sih?”

I just need a break, keluhku.

No, you do not need a break. You need to face it. Mau sampai kapan terus menghindar?” 

“Nggak tahu sampai kapan. Tapi gimana caranya? Di sisi lain aku maunya berhenti dan menangis.”

“Kenapa coba harus menangis? Kamu itu bisa, tapi yagitu memang belum ketemu aja caranya.”

Somehow, nangis membuatku lega.”

“Terus? Apa masalahmu akan hilang gitu?

“Ya enggak, tapi dadanya jadi nggak sakit lagi.”

“Itu sugesti, apa jangan-jangan masuk angin. Aku kadang gitu soalnya,” dia selalu mencoba bercanda.

“Enggalah, rasanya itu seperti dirajam sembilan bilah.”

“Itu tuh, sugestinya hiperbola. Minum wedhang sana, pasti sembuh.”

“Jangan nangis lagi ah. Jelek tahu mukanya.”

“Mana ada, nggak kelihatan yooo…”

“Iyaudah, dihadapin dong. Malam ini aja nangisnya. Besok jangan lagi. Dikerjakan, diselesaikan.”

“Aku capek.”

I always know that, my dear. Life is always unfair, and you have to accept that. Okay?

Alright.

“Tarik nafas, buang nafas dulu. Nanti jadi bengek gimana, aku yang repot.”

“Kok bisa? Paling kamu ketawa.”

“Iya repot, jauh soalnya dan lagi kamu selalu ngerepotin. Jam berapa coba ini?”

“Jam 22.32, hehehe. Sudah tidur ya tadi?”

“Sudahlah. Kamu kan gitu, kalo mau merengek lupa waktu.”

“Tidur ya. Besok, kalau masih nggak tahu caranya aku kasih tahu. Sekarang, tidur aja dulu.”

“Iyeeeeeeeeeeeeeeee…”

“Tencu ya, hehe.”

“My pleasure.”

Selalu saja, dia memiliki beribu cara untuk kembali menenangkanku. Bahkan, untuk menyelesaikan quarter-life crisis aku membutuhkan bantuan. Butuh dia, yang selalu bisa membaca keadaanku tanpa aku harus banyak bicara. Katanya, aku punya berbagai nada menjawab “Okay,” ada nada kesal, nada memahami, bahkan menyangkal. Mungkin iya, aku terlalu banyak menumpuk masalah kecil yang lama kelamaan menjadi bukit. Thanks to you quarter-life, i learned something!


Photo by Tim Mossholder on Unsplash.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!