
2017 | Pagi yang cerah untuk memulai hari. Perjalanan dari Rumah Ompung Sihotang menuju Bandara Kualanamu hanya memerlukan waktu 30 menit. Medan, Ibukota dari Sumatera Utara. Satu kalimat yang mewakili kekaguman ku dengan kota ini sebatas “Bakalan mati cepat, kalau lama-lama hidup di Medan ini,” berdasarkan kisah nyata dimana cuaca dan padatnya lalu-lintas yang membuat jantung dag-dig-dug. Perasaan bahagia ini dihancurkan oleh tragedi rusaknya kamera analogku tercinta. Sedih! Meratapinya sambil bergumam “Kenapa harus sekarang rusaknya?” Mecoba menghubungi teman-teman komunitas untuk mencari jalan keluarnya dan sia-sia; tidak ada cara untuk memperbaiki kamera ini. Terima kasih, abu-abu setidaknya aku sudah menghabiskan 15 frame dan berujung hangus karena sifat tidak sabar yang kumiliki. Naik pesawat kecil dengan perasaan tidak karuan. Untungnya, birunya langit dan laut bisa mengembalikan perasaan yang tadinya kacau menjadi gembira seperti sedia kala. Sesampainya di Bandar Udara Binaka, Kak Nia (teman perjalananku kali ini) sudah mulai mengeluarkan telepon genggamnya untuk mencari tahu apakah temannya yang kupanggil Abang Vinsen sudah datang. Kami pun segera menuju Kota Gunungsitoli menggunakan sepeda motor, ah langit mendung menyapa kami!
Sesuai dengan judul, aku mengunjungi Pulau Nias–untuk pertama kalinya. Menurut catatan Koestoro & Wiradnyana dalam Afif, A (2010) Nias adalah gugusan pulau yang jumlahnya mencapai 132 buah, membujur di lepas pantai barat Sumatera yang menghadap Samudera Hindia. Tidak semua pulau tersebut dihuni oleh manusia. Hanya sekitar lima pulau besar yang dihuni, yaitu Pulau Nias, Pulau Tanah Bala, Pulau Tanah Masa, Pulau Tello, dan Pulau Pini. Dari lima pulau tersebut, Pulau Nias-lah yang berpenghuni paling padat serta menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan. Afif, A (2010) menambahkan bahwa pulau yang sangat terkenal dengan budaya megalitiknya ini juga menyimpan beberapa misteri dan keunikan. Termasuk mengenai leluhur Orang Nias yang bisa dilihat jejak-jejaknya dalam cerita-cerita lisan atau hoho yang berkembang dalam Masyarakat Nias. Para penghuni pulau ini menyebut diri mereka sebagai Ono Niha (Orang Nias) yang diyakini oleh sebagian ahli antropologi dan arkeologi sebagai salah satu suku tertua di Nusantara.
Tips 1, bagi kalian yang ingin menjelajah suatu daerah baru cobalah untuk mencari tahu segala sesuatunya; mulai dari sejarah, letak geografis, penduduknya, makanan tradisional dan lainnya. Apa keuntungannya? Banyak! Karena aku menjelajah suatu daerah tidak sebagai turis, tetapi sebagai antropolog– HAHA. Kami bermalam di penginapan milik Museum Pusaka Nias, harganya terjangkau! Kami menginap di Omo Zotomo Guesthouse, dengan harga Rp 100.000,-/malam untuk dua orang–fasilitas dua tempat tidur yang nyaman, dengan kipas angin serta kamar mandi bersih di luar kamar. Tenang saja, cuaca di Nias begitu dingin (jika dibandingkan dengan Surabaya). Informasi penginapan dapat dilihat di tautan ini. Ah, dapat sarapan juga lho! Untuk melakukan pemesanan bisa dilakukan dengan menelepon atau mengirim surat elektronik, kuncinya harus sabar!
Karena kami menginap di area Museum Pusaka Nias, tentu tidak boleh melewatkan kesempatan untuk belajar dan bermain disini. Bagiku, museum adalah pengantar untuk memperkenalkan daerah tersebut– itu mengapa mempelajari hal baru begitu penting dalam sebuah perjalanan. Museum ini buka setiap hari dengan jadwal Senin-Sabtu Pkl. 08.00-18.00 WIB dan Minggu Pkl. 12.00-18.00 WIB dengan harga tiket masuk untuk dewasa Rp 5.000,- dan anak-anak Rp 3.000. Diansyah, A & Harefa, WSG (2019) menjelaskan bahwa berdirinya Museum Pusaka Nias merupakan buah dan hasil dari kerja keras Pastor Johannes Maria Hämmerle, OFM Cap. Gulo, A (2010) menuliskan bahwa jenis koleksi Museum Pusaka Nias meliputi Etnologi, Arkeologi, Numismatik, Keramik, Histori, Biologi, Seni Rupa, dan Teknologi. Jumlah koleksi pada tahun 2009 ini mencapai lebih 6500 buah.
Museum Pusaka Nias dirawat dan ditata dengan rapi dan mempesona. Ada beberapa peraturan didalam museum; yaitu dilarang mengambil foto. Jadi, aku tidak memiliki foto bagaimana suasana museum– yang pasti kalian tidak akan menyesal. Kebetulan kami juga ditemani pemandu wisata bernama Bobby Telaumbanua, seorang yang baik dan informatif. Hebatnya dia bisa menjawab segala pertanyaan aneh yang aku tanyakan, HAHA. Ada satu hal yang menarik hatiku; namanya hasi nifolasara (peti mayat). Peti mayat bangsawan terbuat dari kayu sala atau osala; bentuknya seperti perahu berkepala monster (lasara). Peti jenazah ini tidak dikubur seluruhnya, akan tetapi kepala peti mayat masih muncul di atas permukaan tanah. Aku tidak memiliki foto peti mayat yang berada di dalam museum, tetapi di cerita berikutnya akan aku sertakan foto! Saat itu, museum mengadakan pameran mengenang tenggelamnya Kapal Van Imhoff. Cerita dibalik tenggelamnya Kapal Van Ihmoff bisa dilihat pada tautan ini. Belajar asal-usul Nias begitu menyenangkan, bahkan Bobby mengajarkanku beberapa kata dalam Bahasa Nias– dan aku belajar memainkan alat musik yang disebut tutuhao. Alat musik ini terbuat dari bambu yang memiliki dawai dari serat bambu; tepat dibawahnya terdapat lubang yang berfungsi sebagai ruang gema. Untuk memainkannya alat musik ini tidak dipetik melainkan dipukul dengan penabuh! Aku tercengang sejenak saat Bobby mulai memperagakan cara bermainnya. Benar-benar menyenangkan belajar di Museum Pusaka Nias. Jika ingin mencari informasi kunjungi saja tautan ini 😉
Tips 2, Buku adalah jendela dunia, ini benar! Museum ini banyak menjual buku-buku mengenai Nias. Untuk kalian yang ingin mendalami dan mencari tahu mengenai Nias bisa membeli buku-buku tersebut. Karena aku gemar membaca, tentu aku tidak melewatkan kesempatan ini. Yap, Aku juga membeli buku-buku yang berjudul “Asal Usul Masyarakat Nias, Suatu Interpretasi” dan “Tanah Para Pendekar.” Bahkan aku membuat repot Bobby untuk mengirimkan buku-buku tersebut ke Surabaya, hehe 🙂 Terima kasih Nias!!😆
Referensi
Afif, A (2010) Leluhur Orang Nias dalam cerita-cerita lisan Nias. Kontekstualita: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 25 (1):53-79.
Diansyah, A & Harefa, WSG (2019)Identifikasi benda-benda bersejarah di Museum Pusaka Nias. Puteri Hijau: Jurnal Pendidikan Sejarah 4 (1):70-83.
Gulo, A (2010) Museum Budaya di Nias. Skripsi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. http://e-journal.uajy.ac.id/2410/.
Museum Pusaka Nias’ Website. https://museum-nias.org/.