Lama sekali tidak menuliskan sesuatu. Apa hal ini terjadi karena tidak menyediakan waktu untuk merenung?
Suatu malam yang biasa-biasa saja, aku dan beberapa teman berkumpul di belakang gereja–hendak melayat. Obrolan terbangun, saling menanyakan kabar, melontarkan lelucon, hingga bercerita mengenai keluarga yang akan kami kunjungi. Aku tidak ikut dalam percakapan tersebut–hanya tersenyum saat dibutuhkan. Aku sempat terbuai dalam lamunan hingga satu dari mereka menepuk pundakku dan berucap, “Hei, caramu menulis begitu indah. Aku membaca halaman blogmu.” Aku terkesiap. Seakan tersendat, aku terdiam–mencoba menenangkan diri dan membalasnya, “Bagaimana caramu menemukan halaman blogku?” rasa penasaranku mencuat. “Suatu malam, aku merasa bosan untuk melakukan apapun. Aku mengunjungi beberapa akun Instagram hingga mendarat pada profilmu dan mengetuk tautan yang tersedia,” kembali ia menjawab. Aku merasa malu. Selama ini, aku terus meyakinkan diri bahwa tidak akan ada yang membaca halaman blog ini. “Malu sekali, sudah lama aku tidak menulis. Mengapa kamu merasa tulisanku indah?” tanyaku. Sambil berpikir ia menjawab, “Aku suka diksi yang kau gunakan,” dengan melempar senyum termanis yang dipunya. Tidak kuat menatapnya, aku menanggapi dengan cekikikan. Seakan saling memberi kode, obrolan disudahi karena kami bergegas menuju rumah duka. Saat beranjak dari kursi aku membalas, “Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca.” ๐
Kala itu, (diam-diam) ujung bibirku tertarik membentuk sebuah senyuman–menjadi senang karena masih ada saja yang meluangkan waktunya untuk membaca tulisanku. Apakah ini menjadi sebuah pertanda untukku supaya tetap berkarya? Sepertinya, IYA! Lihat! Kalian telah membaca tulisan pertamaku di tahun 2023. Saat sejawat menanyakan, mengapa aku tidak lagi menulis–aku berkilah, “Tanpa patah hati, tidak akan ada karya,” atau “Aku butuh menjadi sedih, supaya dapat menulis.” Ternyata, hanya ketenangan yang aku butuhkan saat ingin menuliskan sesuatu.
Sore ini, langit begitu gelap–seakan marah kepada pertiwi. Matahari bak enggan menampakkan sinarnya–Ia bersembunyi dibalik gagahnya awan yang perlahan menghitam. Benar saja, menyusul petir yang menggelegar terdengar dan hujan turun dengan derasnya. Seraya tidak ingin tertinggal, angin ikut serta menggoyangkan semak dan pepohonan. Daun-daun pun tergopoh-gopoh mengucapkan salam perpisahan pada tangkaiย dan terbang tak tahu arah mengikuti kemana perginya angin. Aku? Terdiam dalam bis; menikmati roti isi stroberi yang mengenyangkan perut, sembari memperhatikan semua yang telah terjadi dari balik jendela. Aku melakukan secara bergantian, antara mengunyah, membaca buku, melamun, dan membalas pesan. Saat aku mulai bosan dengan semuanya, aku membuat sebuah pertandingan antara titik-titik air di jendela–yang seolah-olah berambisi untuk menjadi ‘si paling cepat’ hingga mendapat juara. Sungguh aneh, aku menamai titik-titik air dan mulai berbicara (dalam hati) ibarat komentator bola.
Kesempatan kali ini, menjadi perjalanan pertamaku di tahun 2023. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, memikirkan sebuah perjalanan saja aku masih merasa was-was. Aku melancong menggunakan transportasi darat (baca: bis) dengan memakan waktu hingga empat belas jam. WOW, lama ya? Itu mengapa aku memiliki waktu menulis cerita sepanjang ini ๐ Perjalanan darat menjadi pilihan teratas jika berpergian, aku benar-benar menikmati pemandangan, kemacetan, atau rasa gugup yang terus berulang saat pak supir menyalip. Perasaan gelisah semakin terasa, ketika keinginan untuk buang air kecil tidak dapat dibatalkan. Ternyata, keputusan yang kuambil menjadi kesalahan terbesar dalam perjalanan ini. Aku terombang-ambing dalam bilik kecil dan kembali ke tempat duduk dengan perasaan mual. Pusing dan mual datang bersamaan. Laksana takdir dari Tuhan, aku mengakhiri tulisan ini dengan segera. Sinar layar selular semakin membuat mataku pedih.
Salam,
dari aku yang pikirannya mulai terhuyung-huyung;
bak di atas samudera.
Situbondo / Gunung Harta.