
2017 | Berpindah tempat, kami mengunjungi penenun kain ulos di Pulau Samosir. Awalnya, aku tidak mengetahui sama sekali bahwa di Pulau Samosir terdapat satu desa kreatif penghasil kain ulos. Kak Nia yang bersikeras untuk kami mencari keberadaan desa ini. Tetapi, karena waktu begitu singkat–akhirnya kami memutuskan mengunjungi penenun ulos yang mudah dijangkau. Kami mengunjungi Kampung UKM Digital tepatnya berseberangan dengan Sekolah Dasar Negeri 10 Lumban Suhi-Suhi.
Kali ini, mari kita belajar mengenai kain ulos ya! Erlyana (2016) menyatakan bahwa ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi “Ijuk pangihot ni hodong, ulos pangihot ni holong,” yang artinya jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama. Secara harfiah, ulos berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindunginya dari terpaan udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur Suku Batak ada tiga sumber yang memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber kehangatan tersebut ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari. Dahulu nenek moyang suku Batak adalah manusia-manusia gunung, demikian sebutan yang disematkan sejarah pada mereka. Menurut situs resmi pariwisata Indonesia, kain ulos saat ini mempunyai peranan yang sangat penting bagi Masyarakat Batak. Kain ulos tak hanya digunakan untuk pakaian, tetapi juga digunakan dalam beberapa ritual dan rangkaian upacara seperti kelahiran, kematian, dan pernikahan. Kini, kain ulos menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat suku Batak.
Lalu bagaimana proses pembuatan kain ulos? Saat berkunjung, kami melihat proses pembuatan dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Berdasarkan Situmorang (2018) ATBM adalah alat pembuat kain dasar untuk dijadikan sebagai kain tenun tradisional, yang terdiri dari rangka kayu dimana gerakan mekaniknya dilakukan oleh tenaga manusia. Adapun bagian-bagian dari ATBM di antaranya adalah: 1) Gulungan lusi, 2) Gandar gosok, 3) Kayu silang, 4) Gun atau sering disebut kamran, 5) Kerekan, 6) Sisir, 7) Laci tenun, 8) Gandar dada, 9) Gulungan kain, 10) Gandar rem, 11) Injakan, dan 12) Alat pemukul.
Berbeda dari Siregar (2017) yang menceritakan proses pembuatan ulos secara tradisional. Pertama-tama, benang dikeraskan memakai alat sejenis lem atau perekat dengan menggunakan alat yang dinamakan unggas dan pengunggasan. Sesudah selesai diunggas, kemudian benang dikeringkan lalu digulung. Proses selanjutnya adalah bertenun yang dalam Bahasa Batak Toba disebut martonun, yaitu dengan cara memasukkan benang ke dalam alat tenun yang terbuat dari kayu. Adapun jenis alat tenun yang digunakan: hasoli yaitu gulungan benang pada sebatang lidi sepanjang kira-kira 30 cm; turak yaitu alat untuk memasukkan benang dari celah-celah benang yang ditenun. Alat ini terbuat dari bambu kecil menyerupai seruling yang ke dalamnya dimasukkan hasoli. Hatudungan yaitu alat untuk mengendorkan tenunan agar turak bisa dimasukkan; baliga yaitu alat untuk merapatkan benang yang telah dimasukkan dengan cara menekan sampai beberapa kali, terbuat dari batang pohon enau yang telah dihaluskan; Pamunggung, yaitu alat yang berbentuk busur panah, pada sisi kanan dan kiri terdapat tali untuk ditarik-tarik saat menenun. Bagian-bagian dari alat tenun itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan selama proses menenun.
Kami berbincang-bincang dengan Kakak Boru Simorangkir. Dia banyak bercerita tentang bagaimana menggunakan ATBM, dan betapa rumitnya saat pertama kali belajar menggunakan. Dia pun menambahkan bahwa dengan menggunakan ATBM pekerjaan menjadi lebih cepat selesai dibandingkan menggunakan alat tradisional. Kami takjub sih, sempat ingin mencoba tetapi takut salah, HAHA. Tidak jauh dari industri ini, terdapat toko-toko yang menjual Batik dengan motif Gorga Batak yang dikemas dengan cantik. Kami pun membelinya! Kami masih tidak menyangka dapat menyaksikan dan belajar tentang semua ini. Pada zaman modern ini, banyak pemuda-pemudi seperti kita yang sudah mulai melupakan hal-hal ini. Bagaimana jika kita mengingat kembali dan membantu untuk melestarikannya? 🤗
Referensi
Erlyana, Y (2016) Kajian Visual Keragaman Corak pada Kain Ulos. Dimensi DKV 1 (1):35-46.
Siregar, M (2016) Industri Kreatif Ulos pada Masyarakat Pulau Samosir. Jurnal Studi Kultural 2 (1):1-5.
Situmorang, GM (2018) Alat Tenun Bukan Mesin. Medium’s Website. https://medium.com/uloszone/alat-tenun-bukan-mesin-36a461a76400.