Pabrik iki openono, senajan ora nyugihi, nanging nguripi, kinaryo papan pangupo jiwone kawula dasih.
KGPAA Mangkunegara IV
2021 | Nasihat diatas memiliki arti; “Pabrik ini peliharalah, meskipun tidak membuat kaya, tapi menghidupi, memberi perlindungan, menjadi jiwa rakyat kecil.”Β Kami berdua tidak menyia-nyiakan waktu begitu saja; selepas dari “Melangkahkan Kaki di Lokananta” segera kami melesat menuju Pabrik Gula (PG) Colomadu–yang sekarang berganti nama menjadi De’ Tjolomadoe. Kami sadar terdapat keterbatasan bila berkunjung di masa pandemi, dan hal itu benar terjadi. Kami tiba, sekitar jam 11.30-12.00 WIB, parkiran mobil dan motor terlihat sepi; aku rasa kala itu hanya terdapat dua motor dan satu mobil yang terparkir. Kami berjalan menuju loket untuk membeli tiket; di tengah teriknya siang–dan tidak ada seorangpun yang berada di dalam loket. “Apa karena ini jam istirahat, jadi kosong ya?” tanya Kak Angel padaku. Aku pun hanya menaikkan bahu, tanda tidak tahu. Saat kami terlihat kebingungan; seseorang memanggil kami dan berteriak “Beli tiketnya langsung disini kak.” kami pun pergi menuju pintu masuk gedung. Tiket untuk masuk ke dalam museum bisa dibeli seharga Rp 35.000/orang.
Arti kata “Colomadu” adalah gunung madu; hal ini yang membuat Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV pada tahun 1861 meminta kepada pemerintah Belanda untuk mendirikan PG Colomadu; dengan harapan hasil produksi gula berlimpah layaknya gunung dan laut. Hal ini kemudian dapat digenapi, di tahun 1871 Mangkunegara IV membangun PG di daerah “Tasikmadu” yang berarti lautan madu. Zaman keemasan PG Colomadu terjadi pada masa kepemimpinan Mangkunegara VII dan telah menjadi sebuah kekuatan industri gulu di Nusantara. Pada tahun 1928, produksi yang dihasilkan menjadi yang terbesar di Asia, dengan ekspor gula sangat membanggakan. Sayangnya, masa kejayaan ini pelan-pelan surut, dan di tahun 1997, pabrik terpaksa ditutup–karena terus menerus kesulitan bahan baku berupa tebu. Pada tahun 2017, terjadi revitalisasi besar-besaran hingga menjadi yang sekarang kita kenal sebagai De’ Tjolomadoe.
Gedungnya terlampau luas, hingga kami pun mulai bingung (lagi) memulai darimana. Ternyata, setelah dijelajahi hanya museum yang dapat dikunjungi. Beberapa toko yang seharusnya menjual souvenir pun, tutup. Benar adanya, dampak dari pandemi memang luarbiasa. Akhirnya, setelah habis mengelilingi museum–kami pun segera mengabadikan dalam bentuk foto di luar!πDe’ Tjolomadoe menjadi salah satu destinasi yang aku rekomendasikan untuk dikunjungi saat berada di Kota Solo. Walau tetap ada beberapa kekurangan; semoga bisa terus diperbaiki menjadi lebih baik lagi!