Entah sudah berapa lama; tidak pernah lagi ku duduk pada kursi keramik keras yang mengitari Gedung A. Perubahan waktu pulang kerja di bulan puasa begitu rumit–bagi aku yang tidak terlalu nyaman sampai rumah lebih awal. Tepat pukul 15.00; gemerincing kunci selalu terdengar, sebagai pertanda ini adalah waktunya kami untuk pulang. Sore ini, aku mencoba untuk menghabiskan waktu. Kuberanikan diri berbaur diantara mahasiswa-mahasiswi, duduk tanpa ekspresi dan sesegera mungkin mengenakan pelantang telinga– mencoba menghindar dari keributan sekitar dan perlahan masuk ke dalam angan-angan imaji.
Betapa nikmatnya angin semilir ini; yang tidak malu menyibakkan rambutku hingga menusuk mata, daun-daun bergoyang seakan memanggilku untuk ikut berayun, suara motor sayup terdengar dibalik lagu Adhitia Sofyan yang sedang kuputar. Herannya, ini adalah suatu sore di Kota Surabaya. Tidak pernah sama sekali aku membayangkan bisa senikmat ini menjalani suatu sore, di Surabaya. Tentu tidak dengan senja, tidak ada. Dihadapanku hanya terlihat gedung tinggi milik Ekonomi Islam yang tidak kunjung selesai, pepohonan yang dipaksa-kan ada oleh Wakil Dekan II dan kucing kampung si belang yang begitu asyik mengusap matanya. Tidak ada yang istimewa, hanya aku yang sudah larut kedalam imaji-imaji tentang masa depan.
Tetiba terdengar suara benturan keras yang mampu mengalihkan pandanganku. Seorang lelaki; separuh baya yang kami kenal sebagai Bapak Tahu Tek terjatuh beserta gerobaknya. Aku cukup tercengang. Mahasiswa-mahasiswi yang tadinya serius mengerjakan tugas, yang tadinya saling membicarakan teman satu kelasnya, yang tadinya membubuhkan bedak diwajahnya dan yang tadinya bernyanyi melantunkan lagu; seketika menghentikan aktivitas dan berlarian ke arah si bapak untuk membantu. Piring-piring tak dapat dipungkiri sudah terpecah belah, taoge yang enak itu berserakan di aspal dan kerupuk udang yang selalu ada sebagai penghias tahu tek pun sudah remuk tidak karuan. Suara “kriuk” pun terdengar jelas saat mobil atau motor melindasnya. Tidak hanya diam saja, dengan sigap para sang maha-nya siswa itu mengangkat gerobak hingga dapat berdiri dengan kokoh lagi, memungut apa yang sudah berserakan di aspal dan dua orang kembali berlarian kearahku untuk mengambil tong sampah dan sapu kerik.
Aku masih di depan laptop dengan tersenyum manis, melihat mereka mempunyai kepekaan satu sama lain. Bohong kalau ada yang berkata di dunia ini tidak ada orang baik lagi. Aku percaya, masih banyak penghuni bumi ini yang masih peduli dengan sesamanya. Bagaimana denganmu? Masihkah dirimu egois dalam menjalani kehidupan yang hanya satu kali ini? 🙂
Surabaya,
tepatnya di fisip,
almamaterku tercinta.
Photo by Jimmy Ofisia on Unsplash.