If the people we love are stolen from us, the way to have them live on is to never stop loving them.
(James O’Barr)
—
2016 | Delapan muda-mudi. Terdiri dari dua perempuan dan enam laki-laki; yang memiliki ide untuk berlibur dengan satu tujuan di tanggal 12 Januari. Sebuah perjalanan pertama bagi kita, yang tidak disangka-sangka menjadi yang terakhir juga :’ Ini cerita manis, saat aku dan lainnya mengenang indahnya berlibur bersamamu, Niko. Malam itu, (11-01-2016) aku adalah anggota terakhir yang dijemput. Perjalanan sehari semalam ini akan ku habiskan bersama adik-adik bawelku. Iya, dalam rombongan ini aku yang tertua (hiks). Delapan kawula muda ini terdiri dari Aku, Yuni, More, Sulowes, Richard, Ramos, Habema dan Niko. Kali pertama bagiku bertemu dengan Ramos dan Habema, dan oh hei! Kami cukup bisa mengakrabkan diri walau baru saja berkenalan. Malam itu terasa begitu panjang, kami habiskan dengan tertawa, teriak-teriak, saling mengejek dan bercerita tentang hidup.
Aku duduk di tengah, diapit oleh duo gambreng Yuni dan More. Aku menoleh ke belakang, mencari tahu. Tidak ada lagi sahutan-sahutan kecil terdengar dari belakang, Habema-Niko-Ramos sudah terlelap. Aku tertawa kecil, melihat pulasnya Niko, disandarkan kepalanya pada bahu Habema dan tak jarang akan terbanting ke arah sebaliknya bila mobil terguncang. Malam semakin malam, obrolan serius tidak dapat dihindari lagi. Mulailah aku mendongeng; tentang hidup. Membosankan memang, tetapi ini satu-satunya cara supaya Richard, si pengemudi tidak tertidur. Di sela-sela cerita, tidak jarang Sulowes membuat reaksi sedikit panik kebingungan karena GPS yang tidak tepat menunjukkan arah. Perjalanan ini semakin menegangkan, saat dibumbui kejadian dimana kita ‘hampir’ saja jatuh ke sungai, HAHA. Tips berkendara jauh adalah jangan sepenuhnya percaya akan Google Maps dan fokus adalah kunci. Ini terjadi, karena kami terlalu banyak tertawa hingga tidak fokus melihat jalan di depan. Saat itu, pagi-pagi sekali, setelah melewati gang-gang kecil, jalan setapak di pinggiran sawah dan putar balik yang tidak terhitung berapa kali dilakukan akhirnya tiba juga kami di pintu masuk, Pantai Papuma. Enam jam yang menegangkan–menguji adrenalin, pikiran dan jiwa.

Pantai Tanjung Papuma terletak di Kecamatan Wuluhan, 45 kilometer arah selatan Kota Jember. Kata Papuma adalah hasil akronim dari Pantai Putih Malikan. Disebut Malikan karena ada batu-batu yang bisa berbunyi khas saat terkena ombak. Batu Malikan merupakan karang-karang pipih yang mirip seperti sebuah kerang besar yang menjadi dasar sebuah batu karang besar. Kami berdelapan, sangat beruntung. Menjadi pengunjung yang pertama, di hari itu. Pantai serasa milik pribadi. Tidak ada keramaian, yang terdengar hanya seru-an kami dan ombak yang tiada lelah menyapu tepi pantai. Apa yang kami kejar, kami dapatkan! Menikmati rona jingga dari si pemilik pagi, Matahari. Menyusuri pantai yang panjang, kami berjalan ke arah selatan menuju batuan karang kokoh yang selalu sabar menyambut ombak.
Melangkah perlahan, melepas alas kaki dan menginjak bebatuan di sekitaran pantai. Sakit memang, tetapi anggaplah ini adalah pijat refleksi; gratis. Kami berlarian, tidak jarang berpose diantara batu karang yang besar demi mendapatkan momen matahari terbit yang menakjubkan, istilahnya silhouette. Sedikit kocak memang kita bergaya dan “kampungan”–efek terlalu lama di kota dan kurang piknik. Matahari mulai menampakkan wujudnya. Seketika itu juga, teriknya mulai terasa di kulit. Peluh mulai bercucuran saat kami berjalan ke atas tebing, di ujung selatan. Saat menaiki tebing, kami harus berhati-hati! Tidak jarang; monyet ekor panjang menganggu dan hendak mengambil barang.
Lelahnya ini benar terbayar lunas! Di ketinggian sini, yang indah-indah terlihat dengan jelas! Di ketinggian sini terdapat pondok kecil guna beristirahat. Pondok lusuh yang di setiap tiangnya penuh dengan coretan-coretan tangan bertuliskan nama-nama, dan jika jeli melihat tidak jarang akan menemukan kata-kata yang tidak sepantasnya. Mengecewakan; banyak orang berkunjung tanpa bisa memelihara. Sembari beristirahat, kami mulai mengobrol dan mengerahkan seluruh tenaga untuk bercanda. Saat itu angin sepoi bergabung, menemani. Kami disejukkan oleh alam. Bila diingat kembali masa itu, aku kembali tersenyum–mengingat betapa cerewetnya aku minta difoto olehmu. Niko, apa kabarmu?
Aku rindu, masa dimana kita berlari-larian seakan tidak memiliki beban hidup. Tidur santai di pinggiran pantai dengan kalian sahabat tersayang, menunggu ombak menerjang badan lalu kita tertawa bersama. Hal-hal yang tidak lucu pun kami tertawakan. Tidak mempedulikan kulit yang menghitam, karena kita berlarian tepat pukul 13.00. Berenang menerjang ombak dan dengan bodohnya kita terbawa arus. Berjalan seperti orang mabuk dan berkata “Gile, airnya asin banget!” Melihat konyolnya More berlarian kesana-kemari sambil berteriak tidak jelas mencoba menghindari air yang hendak menyapu bibir pantai. Yuni yang selalu ragu mendekati laut karena alasan tidak bisa berenangnya, dan Kamu Niko–dari kejauhan sana terlihat memegang erat kacamata renang dan bersiap menerjang ombak. Cuma satu dibenakku saat itu, Niko Totalitas.
12-03-2016 | Tulisan ini kupersembahkan untuk mengenangmu, Ko. Satu hal yang kuingat mengenai liburan ini adalah dirimu yang sudah siap layaknya penyelam dilengkapi kacamata renang. Mengajakmu untuk bermain dengan ombak, tidaklah mudah. Kami bersusah payah merayumu, dan kamu berteriak “Panas kali, hitam aku nanti,” HAHAHA. Sudah satu bulan, kamu meninggalkan kami semua. Terimakasih Niko, kamu sempat mewarnai hari-hari ku dengan segala lelucon dan tawamu yang khas itu. Gelagat seperti orang yang tidak mengerti apa-apa itu yang aku rindukan darimu. Polosnya jawaban yang selalu kamu berikan pada kami, itu juga yang ku rindukan. Do you remember? Setiap aku bertemu denganmu, aku berkata “Niko kan, bawalah sepeda sendiri kalau ke Gereja. Biar, kakak bisa bareng More.” Dan sekarang tidak ada lagi yang aku teriak-in seperti itu 😟
Hari itu, saat seorang teman meneleponku memberitahu akan kabarmu, aku tidak begitu saja percaya. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, aku terus berpikiran positif. Hingga ku tiba, dan melihat lampu biru-merah dari mobil polisi. “Apalagi yang diperbuat sama anak ini?” Berlari ku menembus hujan, ku hampiri More dan tanpa membuang waktu dia berkata “Sudah nggak ada Niko, kak.” Seraya dunia berakhir, ku peluk More sambil terus bertanya “Serius dulu?” situasi di rumah sakit begitu kacau–aku menangis, teman-teman Niko menangis, Marshall keluar dari ruang UGD dan wajahnya terlihat sehabis menangis lalu dia terus meracau tidak bisa menerima bahwa hal ini benar terjadi, Ruben terus memegangi kepala melampiaskan amarah sambil bergumam “Kenapa dia Tuhan?” Marlen gemetar sambil memegang telepon genggam bingung bagaimana menyampaikan berita ini pada keluarga Niko, Andro linglung harus menjelaskan berkali-kali terhadap polisi, Hery sibuk kesana-kemari mengurus administrasi. Malam itu benar-benar chaos, hanya tangisan dan rintiknya hujan yang terdengar. Tidak pernah ku menyangka, kamu akan pergi secepat ini, tanpa pesan. Selamat jalan adikku tersayang, Niko Sihombing. Aku bersyukur, di Pantai Papuma ini kita pernah merajut sebuah kisah. Liburan yang tak terlupakan.
Dengan cinta, Niko tetap di hati kami. See you when we see you.
Rest in Peace
Our Best Friends, Niko Sihombing
21 April 1995-09 Februari 2016