
2017 | Semasa kecil, uang seribu rupiah sudah cukup mengenyangkan perut dan tersisa untuk perjalanan pulang menggunakan angkutan umum. Uang kertas ini diterbitkan pada tahun 1992 oleh Bank Indonesia dimana warna dominannya adalah biru. Pada uang seribu rupiah ini terlihat di bagian depan tertera motif gambar Danau Toba dan bagian belakang terdapat adegan seorang laki-laki melompati batu besar yang akhirnya dikenal dengan Lompat Batu.
Tidak ada yang tahu bagaimana kita di masa depan. Begitupun dengan diriku dimana akhirnya tumbuh menjadi seorang perempuan yang tergila-gila akan petualangan dan perjalanan. Semakin hari semakin ku menyetujui sepatah kata dari Ir. Soekarno; yaitu “Bermimpilah setinggi langit jika engkau terjatuh, akan terjatuh di antara bintang-bintang,” 😉 Dan, salah satu mimpi yang akhirnya terwujud adalah melihat secara langsung tradisi Lompat Batu yang berada di Desa Bawömataluo, Pulau Nias.
Hombo Batu merupakan dua suku kata dalam bahasa Nias, khususnya dialek Nias Selatan. Menurut Li Niha (2011), hombo merupakan kata dasar dari mohombo yang memiliki arti terbang. Zagoto (2010) menyatakan bahwa hombo batu diartikan sebagai olahraga tradisional di Nias, yaitu melompati batu bersusun yang tingginya 2,5 meter dimana kita mengenal dengan Lompat Batu. Kebudayaan yang telah dilakukan sejak ratusan tahun ini memiliki sejarah yang terkait dengan peperangan, patriotisme dan bersifat heroik. Budaya lompat batu ini diciptakan sebagai wadah untuk melatih fisik dan mental para remaja pria di Nias Selatan menjelang usia dewasa. Seiring perkembangan zaman, tradisi ini berubah menjadi salah satu daya tarik wisatawan. Salah satu desa yang masih melakukan tradisi ini adalah Desa Bawömataluo. Desa ini menjadi cagar budaya supaya wisatawan dapat menikmati sebuah gambaran atau tradisi Pulau Nias pada zaman dahulu. Desa ini masih terjaga keasliannya, dengan adanya rumah-rumah tradisional (khas Nias Selatan) yang terbuat dari kayu.
Masih di hari yang sama. Perjalanan dari Pantai Lagundri menuju Desa Bawömataluo memakan waktu kurang lebih sekitar 20 menit dengan menggunakan sepeda motor. Joedodibroto (2008) menyatakan bahwa Desa Bawömataluo adalah desa terbesar di Nias Selatan yang didirikan pada tahun 1600 M oleh Laöwö. Desa ini dahulu bernama Hilifanayama yang memiliki arti Gunung Fanayaman. Menurut catatan Joachim Freiherr von Brenner-Felsach, pada tanggal 5 Juni 1887, di sebuah acara adat desa tersebut, Hilifanayama diganti namanya menjadi Bawömataluo. Sesampainya di Bawömataluo, kita akan dihadapkan pada anak tangga yang menjulang tinggi (jumlahnya 77) untuk memasuki perkampungan. Bawömataluo artinya adalah Bukit Matahari ☀️ Itu mengapa orang menyebut sebagai Desa Bukit Matahari. Mengapa? Karena kita dapat melihat matahari terbit dan matahari tenggelam tanpa terhalang apa pun. Setelah memasuki perkampungan, dari kejauhan akan terlihat Omo Sebua atau rumah besar dan batu besar yang digunakan untuk lompat batu.
Omo Sebua hanya dibangun untuk Balo Siulu atau pemimpin desa; rumah ini dibangun pada tumpukan kayu ulin besar dan memiliki atap yang menjulang. Fungsi dari arsitektur ini untuk bertahan terhadap serangan (karena sering terjadi perang antar desa dan tahan terhadap gempa. Akses satu-satunya masuk ke dalam Omo Sebua adalah melalui tangga sempit dengan pintu kecil di atasnya. Bentuk atapnya yang curam dapat mencapai ketinggian hingga 16 meter. Saat kami memasuki Omo Sebua, akan terlihat tulang rahang yang tergantung– jumlah tulang babi yang tergantung ini menunjukkan seberapa tinggi kedudukan pemilik rumah di desa tersebut. Pada dinding Omo Sebua bagian dalam terdapat ukiran-ukiran dari kayu berupa gambar rupa. Semakin dalam mencari tahu; aku semakin penasaran. Kalian bisa juga membaca sebuah artikel mengenai gambar rupa Omo Sebua, disini.
Beralih ke Hombo Batu, ada beberapa makna dari tradisi ini antara lain 1) Melatih ketangkasan dan kriteria untuk menjadi prajurit perang; 2) Sarana olah raga bagi pemuda di Nias Selatan; 3) Kesenian; 4) Sebagai penanda kedewasaan seorang laki-laki dan syarat untuk menikah; serta 5) Sebuah kebanggan.
Dalam tulisannya Zega (2016) menjelaskan bahwa batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar, tingginya kurang lebih dua meter, lebar permukaan bagian bawah sekitar 120 centimeter. Lebar puncak batu ini sekitar 80 centimeter dengan permukaan datar. Sebelum melakukan lompatan, pelompat akan mengambil ancang-ancang untuk berlari dengan jarak delapan meter dari batu lompatan dan kemudian akan berpijak pada batu pijakan yang biasa disebut dengan tara hoso setinggi 40 centimeter. Tentu saja kami pun ingin melihat tradisi Hombo Batu. Pertama, mereka menanyakan diantara kami yang mau mengenakan pakaian adat Nias–nuansa emas atau kuning, merah dan hitam yang mendominasi. Akhirnya, kami menentukan bahwa Lilys yang akan mengenakan, karena akan cocok sebab dirinya adalah seorang Nias. Kami mengeluarkan uang sejumlah Rp 100.000,- untuk menyaksikan satu kali tradisi Hombo Batu. Sangat mendebarkan hati, dapat melihatnya secara langsung. Halaman Museum Pusaka Nias menjelaskan bahwa pakaian adat untuk laki-laki disebut Baru Oholu dan untuk perempuan Baru Ladari atau Baru Isitö. Perempuan dari selatan memakai pakaian yang didominasi warna kuning, sementara perempuan di utara memakai pakaian yang didominasi warna merah. Pakaian tradisional juga menggabungkan pola dan lambang desain tertentu. Yang paling biasa digunakan adalah deretan corak segitiga, yang disebut Ni’ohulayo. Bentuk segitiga menyerupai kiat tombak dan pola ini melambangkan semangat kepahlawanan dari Orang Nias.
Kami begitu menikmati perjalanan mengarungi Desa Bawömataluo ini. Sembari menunggu senja, kami pun berkeliling perkampungan untuk melihat desa secara keseluruhan. Kami diajak untuk melihat tipe makam bangsawan Niasa Selatan. Ini adalah lanjutan cerita “Museum Pusaka Nias Sebagai Identitas” mengenai Hasi Nifolasara. Peti jenazah seperti ini hanya ditemukan di Telukdalam, Nias Selatan dan hanya dipakai oleh para bangsawan yang meninggal. Kepala monster naga pada peti jenazah itu menyerupai bentuk anjungan perahu naga. Hal ini juga tercermin dari namanya yaitu ni-fo-lasara = seperti kapal. Untuk bangsawan perempuan tidak diberi jambang dan kumis. Sementara untuk bangsawan laki-laki biasanya diberikan. Dahulu, di Nias Selatan, jenazah tidak dikubur. Peti jenazah ini tidak dikubur seluruhnya, akan tetapi kepala peti mayat masih muncul di atas permukaan tanah. Maksudnya agar mudah mengetahui bahwa di lokasi tersebut ada kuburan bangsawan. Dewasa ini dikubur seluruhnya, kemudian di atasnya dibuat kepala naga dari semen, sebagai tanda bahwa kuburan itu milik bangsawan. Hidayati (2012) menjelaskan bahwa wujud fisik lasara digambarkan sebagai kepala dari suatu mahluk yang tidak teridentifikasi secara jelas jenisnya dan lebih dikenal dengan sebutan högö lasara yang berarti kepala lasara. Lasara menampilkan sebentuk kepala percampuran dari burung, naga, rusa dan harimau yang memiliki sepasang bibir (terkadang) menonjol ke depan sehingga tampak menyerupai paruh unggas, meiliki gigi-geligi tajam, dan taring besar serta panjang yang meyembul dari mulut yang terbuka lebar, lidah menjulur ke luar, serta berleher panjang.
Selalu ada hal manis dan baru yang aku dapat dari sebuah pertjalanan. Mungkin dari kalian bertanya-tanya, mengapa aku ikut menyertakan penjelasan dari berbagai sumber. Karena, terkadang, informasi yang aku catat dalam perjalanan bisa saja simpang-siur. Kegunaan dari sumber-sumber ilmiah ini untuk menambah keyakinan dan informasi baru 🙂 Dan sebagai penutup, aku persembahkan senja yang manis dikenang dari Desa Bukit Matahari, Bawömataluo.
Referensi
Hidayati, D (2012) Pemaknaan Lasara dalam Mitologi Nias. Berkala Arkeologi Sangkhakala 15 (1):44-62.
Nehe, GF (2015) Refleksi Kosmologi Terhadap Pola Kampung Studi Kasus: Desa Bawömataluo, Nias Selatan. Skripsi, Universitas Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/55791.
Museum Pusaka Nias’ Website [Diakses 25 Januari 2020]. https://museum-nias.org/.
Zega, SJ (2015) Memaknai Potensi Lompat Batu (Hombo Batu) Bagi Masyarakat Bawomataluo Nias Selatan Dari Budaya Tradisional Menjadi Budaya Wisata. Skripsi, Universitas Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/han dle/123456789/54913.